Senin, 07 April 2014

Mendampingi Anak dalam Memaknai Menang atau Kalah



Hari ini saya menerima kedatangan orang tua murid saya,

Ibu ini bertutur, “Bu, anak saya kemarin nangis seharian, karena dari hasil UTS-nya dia tidak ranking 1! Tolong ya Bu, nanti ibu ngobrol sama dia! Kemarin sih sudah saya beritahu, tidak apa-apa meskipun tidak ranking 1! Tapi sepertinya kok tidak bisa terima!”

Lalu saya balik bertanya ke ibu itu,“Kalau ibu sendiri, gimana?”
Lalu dijawabnya,” Ya, sayang sih Bu sebetulnya! Nilai yang kurang itu hanya penjaskes, lainnya bagus-bagus!”

Dari cuplikan pembicaraan kami , saya jadi teringat pada seorang psikolog yang pernah saya undang ke lembaga bimbingan belajar saya untuk memberikan tes psikologis pada murid-murid. Dia bilang, “Anak-anak perlu disiapkan untuk menyikapi kegagalan!” Pada kasus murid saya di atas, anak ini sekarang ada di kelas 3 SD. Sejak kelas 1 selalu ranking 1. Dia menjadi ranking 1, selain pintar juga ada motivasi dari orang tuanya sehingga si anak berambisi jadi juara. Mental juara tertanam dalam dirinya.

Kemarin hasil UTS-nya diluar dugaan, mentalnya langsung down. Dia menangis karena sedih dan malu atas kekalahannya, bukan sesuai dengan harapannya. Menerima kekalahan ini menjadi lebih sulit daripada dia harus belajar keras. Mengapa murid saya begitu? Karena makna menang dan kalah masih belum dipahami secara baik, apalagi belum pernah terkalahkan. Kemenangan dan kekalahan adalah dua hal yang bisa terjadi kapan saja. Ada kalanya memang bisa diprediksi, tetapi juga tidak menutup kemungkinan yang lain. Jangankan anak-anak, kekalahan juga membuat orang dewasa pun bisa terpukul, bukan!

Dampak kemenangan bagi anak:
Kemungkinan sikap-sikap positif yang muncul seperti : percaya diri, makin rajin belajar / berlatih, dapat mematok target yang ingin dicapai, makin terpacu untuk mengikuti berbagai kompetisi.
Kemungkinan sikap-sikap negatif yang muncul : menjadi sombong, meremehkan orang lain, merasa diri lebih hebat sehingga kurang mau mengakui kemampuan pihak lain, bahkan sebagian membatasi pergaulannya.

Dampak kekalahan bagi anak :
Kemungkinan sikap-sikap positif yang muncul : menjadi pribadi yang sportif dan mengakui keunggulan pihak lain, dapat mengevaluasi diri atas kegagalannya,  sanggup menghadapi kenyataan yang tidak diharapkan, berbenah diri atas dasar pengalamannya dari sebuah kegagalan, mampu mengukur kemampuannya dan ingin menebus kekalahannya.
Kemungkinan sikap-sikap negatif yang muncul : Hatinya terluka dan merasa malu , menyalahkan diri sendiri, menyalahkan orang-orang di sekitarnya dan tidak bisa legawa dengan keberhasilan pihak lain.  Larut dalam kesedihan dan merasa tidak mampu lagi, jadi enggan berkompetisi karena takut kalah, menunjukkan sikap-sikap negatif kepada pihak lain yang menang, bahkan bisa berupa serangan fisik ataupun ucapan yang menyakiti.

Bagaimana cara orang tua mendampingi ?
Kemenangan dan kekalahan adalah bagian proses menjalani kehidupan, sangat baik jika sejak kecil anak-anak pernah mengalaminya. Justru hal itu tak perlu dikaburkan seperti dalam bentuk penghapusan sistem peringkat di sekolah.  Karena dengan adanya peringkat, anak menjadi paham saat ini dia berada di posisi mana dalam komunitasnya. Dia menjadi tahu apa yang harus dipertahankan, ditingkatkan dan dperbaiki dalam dirinya. Fakta buruk atau baik harus diterima sebagai kenyataan bukan dihindari. Atas dasar itu pulalah orang tua dapat dengan lebih mudah memberikan pengarahan kepada anak ataupun membuat kebijakan yang sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya.

Sebuah kemenangan layak disyukuri dan dirayakan, tetapi kekalahan juga perlu disikapi secara benar dan tidak berlebihan. Orang tua sebagai sosok penting dalam pembentukan karakter dan peletakan nilai-nilai  dalam diri anak selayaknya mendampingi anak dalam memaknai menang atau kalah secara benar.

Bentuk-bentuk pendampingan yang selayaknya DIHINDARI orang tua:
  1. Mematok anak untuk selalu menjadi pemenang, sehingga ada tekanan apabila anak kalah.
  2. Terlalu membangga-banggakan anak secara berlebihan, sehingga ada beban apabila ucapan orang tua tak dapat dibuktikannya.
  3. Menyalahkan dan membanding-bandingkan anak di saat dia kalah.
  4. Acuh tak acuh atas kemenangan ataupun kekalahan yang dialami anak.
  5. Memberi pembelaan kepada anak di saat kalah sebagai usaha-usaha untuk membentuk opini kemenangan dengan cara-cara yang tak wajar.
  6. Mengeluarkan pernyataan negatif kepada pihak lain yang dianggap penyebab kekalahan anaknya sehingga timbul asumsi di hati anak bahwa sebenarnya ia lebih berhak menang.
  7. Memberi iming-iming berupa “umpan” tambahan, apabila ia meraih kemenangan yang diinginkan orang tuanya.
Hal-hal di atas adalah bentuk pendampingan yang dapat merusak mental anak, sehingga anak salah menyikapi sebuah kemenangan dan kekalahan yang dialaminya. Hal ini akan membentuk jiwa yang picik dan sempit dalam menanggapi hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginannya atau keinginan orang tuanya. Apabila berlanjut akan terbentuk nilai-nilai kehidupan yang salah dan sangat merugikan anak serta penyimpangan tingkah laku yang cenderung negatif.

Bentuk-bentuk pendampingan yang selayaknya DILAKUKAN orang tua adalah :
  1. Menanamkan sikap objektif kepada anak, agar dia secara bertahap dapat menilai mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah. Anak belajar tentang kebenaran dan sanggup mengakuinya, hal ini akan memupuk sikap sportif.
  2. Mendorong anak untuk selalu melakukan tugas dan tanggung jawabnya sebaik-baiknya dan tidak mengedepankan hasil akhirnya., serta dapat menerima hasil penilaian dari pihak lain secara rasional.
  3. Menanamkan sikap kepada anak bahwa kemenangan dan kekalahan adalah bagian dari suatu kompetisi, tetapi bukanlah segala-galanya. Masa depannya tidak ditentukan dari menang dan kalah yang pernah dialaminya.
  4. Mengajak anak untuk belajar menjadi pribadi yang seimbang dalam menyikapi suatu kemenangan atau kekalahan yang dialaminya, sehingga ia tidak sombong, mau menghargai kemenangan orang lain, bisa menerima kekalahan diri sendiri dengan sikap wajar.
  5. Membiarkan anak bersaing secara sehat, apapun pencapaian yang diperolehnya tanpa ditunggangi oleh gengsi orang tua dengan memberi “umpan” tambahan. Karena anak sudah mendapatkan hadiahnya, dimana dengan dia berkesempatan untuk berkompetisi disitu ia akan lebih banyak berlatih dan kemampuannya menjadi bertambah dan lebih baik. Itulah hadiah yang sebenarnya.
Sebagai orang tua seharusnya adalah pihak yang paling tahu minat, bakat dan kemampuan anaknya masing-masing, termasuk pula kelebihan dan kekurangannya. Oleh sebab itu orang tua sebaiknya mengarahkan anaknya pada bidang-bidang yang sesuai kepada anaknya. Perlu dicermati, bahwa setiap anak sangat jarang yang berprestasi dalam segala bidang secara sekaligus. Pasti ada kelebihan di satu sisi dan kelemahan di sisi yang lain. Berilah anak kesempatan merasakan kemenangan dan kekalahan sejak kecil, karena hal itu akan sangat bermanfaat bagi kehidupannya. Tak masalah di bidang apa ia berkesempatan berkompetisi, baik akademis, seni, olah raga dan lain-lain

Anak-anak yang tak pernah merasakan menang atau kalah cenderung menjadi pribadi yang pasif dan menjalani kehidupannya secara datar-datar saja. Mempunyai sifat pemalu, rasa percaya diri kurang terbentuk, tidak begitu jelas dalam menentukan tujuan yang ingin dicapainya. Memang tidak semua anak mempunyai jiwa berkompetisi, tetapi setidaknya memberi kesempatan sekali atau dua kali di masa kecil atau remajanya akan memberi pengalaman yang sangat berarti.

MENANG bukanlah tujuan akhir, KALAH bukanlah akhir segalanya

Sumber :
edukasi.kompasiana.com/2013/11/08/mendampingi-anak-dalam-memaknai-kekalahan-608331.html
Penulis :
Majawati Oen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar